Kamis, 31 Desember 2009

Duka di Penghujung Tahun



Siapa tidak kenal dengan Gusdur. Selain dikenal sebagai seorang tokoh ulama kharismatik, beliau juga diakui sebagai seorang cendekiawan yang telah banyak sekali menyumbangkan pemikirannya bagi negeri ini.

KH. Abdurrahmad Wahid, presiden ke-4 dari negeri ini. Sebuah pencapaian yang hebat dari seorang Kyai dengan pembawaan yang sangat periang ini. Entah berapa banyak para pengikut fanatik beliau dari kalangan Nahdiyyin yang tersebar di seluruh Indonesia. Saya teringat anekdot kerabat saya dari kalangan Nahdiyyin. Katanya, bagi orang NU percaya kepada hal yang ghaib itu adalah termasuk Gusdur. Sepak terjang Gusdur yang serba kontroversial, tentu saja mengundang banyak Tanya semua orang. Namun demikian bagi kalangan Nahdiyyin hal itu tidak melunturkan kepercayaan mereka kepada Gusdur.


Belakangan ini memang kharisma beliau nampak agak diredupkan dengan adanya kasus pembelaan beliau terhadap Ahmadiyah. Tapi toh apa salahnya. Itu justru membuktikan keteguhan prinsip beliau dalam memegang agama islam yang kaaffah, tidak parsial. Islam adalah agama rahmatan lil ‘aalamiin. Oleh karena itu sangat penting bagi ajaran islam untuk bersifat plural dan feaceful. Gusdur hingga akhir hayatnya tetap berpegang teguh dalam prinsip pluraritas agama islam ini.
Keberanian juga adalah merupakan bagian dari kepribadian beliau. Bila tidak dengan dibarengi keberanian, bagaimana mungkin beliau mau membela kaum minoritas? Beliau tidak peduli dengan ancaman dari kelompok keras serta upaya mayoritas elit politik yang oportunis. Meskipun dengan tanpa keuntungan sama sekali, beliau tetap konsisten membela hak-hak kaum minoritas seperti Ahmadiyah. Karena hal itulah yang sejalan dengan prinsip beliau.

Saya sangat terkesan dengan fatwa beliau berkenaan dengan UU pornografi dan pornoaksi belakangan. “Pornogarafi itu ada dalam otak seseorang, bukan pada media tertentu. Kalau otaknya sudah porno, baca ayat quran juga pasti akan ngeres.” Jadi permasalahan sesungguhnya bukan pada soal memberantas/memberangus media tertentu yang dianggap biang keladi, karena hal itu tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan. Melainkan bagaimana memperbaiki moral individu setiap anggota masyarakat kita agar mereka dapat mengontrol otak ngeresnya. Sehingga dapat menghindarkan diri dari kemaksiatan.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ada seseorang dating kepada Yang Mulia Nabi saw. Dan menyatakan penyesalan karena mempunyai kebiasaan buruk yang sulit ditinggalkan. Salah satunya adalah berzina. Rasulullah saw. Tidak memerintahkan para sahabat untuk menghancurkan tempat maksiat itu hingga tidak ada orang yang dapat terjerumus. Pada waktu itu beliau saw. Hanya menyuruh orang itu untuk bersumpah dan berjanji untuk tidak akan berdusta lagi. Orang itu berjanji dan menepatinya. Dorongan untuk berbuat maksiat tentu datang bertubi-tubi kepadanya. Namun dia teringat akan janjinya. Dia berpikir bagaimana jika ada orang yang bertanya kepadanya tentang perbuatannya, kalau dia jujur tentu dia akan malu, sedangkan dia tidak boleh berdusta. Akhirnya ia tidak jadi melakukan pekerjaan kotor itu. Demikianlah yang terjadi setiap kali datang godaan kepadanya. Pada akhirnya orang itu datang kembali Rasulullah saw dan menceritakan dengan bersyukur kepada Allah ta’ala bahwa ia telah sembuh dari penyakit maksiatnya.

Dari riwayat diatas ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil. Sebagaimana dikatakan oleh Gusdur, kemaksiatan timbul dari dalam diri seseorang itu sendiri. Benar bahwa faktor luar juga sangat berpengaruh, namun tanpa ada persetujuan dari dalam diri kita, maka tidak mungkin terjadi perbuatan maksiat itu. Permasalahannya, justru masyarakat sekarang sangat lemah factor internalnya. Siapa yang tidak pernah berbohong? Atau apakah rasa malu untuk menceritakan aib masih ada? Keadaan jadi lebih parah lagi karena kondisi moral seperti itu terjadi pula di kalangan para pengayom masyarakat.

Zaman sekarang ini aib seseorang justru malah dijadikan objek untuk meraih keuntungan pihak-pihak tertentu. Di kalangan selebritis misalnya, tidak jarang dengan sengaja mengumbar masalah-masalah pribadinya hanya untuk membuat sensasi dan meraih popularitas tinggi. Jika sudah demikian maka permasalahan moral ini menjadi lebih pelik lagi dari sekedar bakar-bakaran tempat hiburan atau warung remang-remang yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Gusdur sebagai seorang pemuka dikalangan islam moderat sangat menentang radikalisme dalam agama. Beliau dengan tegas mengecam segala bentuk terror maupun kekerasan lain dengan kedok keagamaan. Ketika peristiwa Monas yang menghebohkan itu terjadi, beliau langsung angkat bicara. Namun sangat disayangkan, entah kenapa suara-suara beliau tentang islam plurar dan damai ini seolah kurang bergema ditengah gemuruhnya suara para elit politik yang memperebutkan kekuasaan.

3 komentar:

  1. Saya merasa gelar Pahlawan untuk Gusdur bukanlah hal yang berlebihan. Ditilik dari segi manapun, semua orang yang berhati bersih tentu mengakui kepahlawanan Gusdur.

    BalasHapus
  2. Jangan merasa benar sendiri trus main hantam orang lain. Lihat tuh Gusdur, prinsip yang diutamakan adalah membela yang benar, bukan membela yang bayar.

    Heran dech sama kelompok FPI dkk., demi sedikit rupiah mereka berani menukar kebenaran dengan kabathilan...
    Just sharing, moga ja ga didelet ma momod.. :)

    BalasHapus
  3. Mohon maaf, Gusdur itu tidak pantas di sebut pahlawan ataupun Guru Besar..

    BalasHapus

Terimakasih untuk komentar anda yang bertanggung jawab.

Related Post

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...