Rabu, 16 Desember 2009

Perbedaan Antara Azab dan Cobaan


Antara azab dan cobaan terdapat perbedaan besar. Tapi karena kebodohan, orang-orang tidak memperhatikan perbedaan itu dan menganggap bahwa kesulitan yang dihadapi di jalan Tuhan itu sebagai penyebab kehancuran mereka. Padahal itulah yang akan menyebabkan kemajuan bagi mereka.

Salah satu perbedaan antara cobaan dan azab adalah, ketika manusia berusaha untuk menjauhkan azab, maka dia selalu tersandung. Tapi kepada siapa ujian turun, hal itu akan menimbulkan pemahaman (pelajaran) baru baginya. Kemudian dia mulai memahami masalahnya dengan baik.


Perhatikanlah Hadhrat Rasulullah saw. Bagaimana kaum kuffar menyisir jejak langkah beliau sehingga sampai ke gua Tsur (pada saat hijrah). Dan si pencari jejak mengatakan, “Hanya ada dua kemungkinan. Dia ada disini (dalam gua), atau naik ke langit. Mereka sangat mempercayai perkataan si pencari jejak. Pada saat itu nyawa Rasulullah saw. dalam keadaan yang sangat berbahaya. Tapi sedikitpun Rasulullah saw tidak merasakan khawatir. Beliau bahkan mulai menenangkan Hadhrat Abu Bakar r.a. dengan bersabda, “Laa Tahzan! Innallaha ma’ana.” (Jangan khawatir! Sesungguhnya Allah Ta’ala beserta kita). Begitu juga suatu ketika beliau sedang tidur. Tiba-tiba seorang kafir menghunus pedang kepada beliau saw. Tapi beliau tidak merasa takut sedikitpun dan beliau menjawab pertanyaan si kafir dengan penuh ketenangan. Dia bertanya, “Sekarang siapa yang dapat menyelamatkanmu?” Beliau saw menjawab, “Allah”. Setelah melihat ketenangan yang luar biasa itu si kafir gemetar sedemikian rupa sehingga pedang itu terjatuh dari tangannya.

Perbedaan yang lainnya adalah ketika menghadapi ujian, dalam diri manusia tidak ada perasaan dicoba. Tapi ketika cobaan datang manusia menganggap kesulitan itu tidak berarti dan ia akan merasakan kelezatan karena terdapat keyakinan dalam hatinya bahwa aku sedang mengorbankan sesuatu yang rendah untuk sesuatu yang luhur. Misalnya hartanya raib, maka ia akan mengatakan harta itu telah pergi untuk Allah Ta’ala, karena itu apa pedulinya. Atau kalaulah anaknya mati, maka ia mengatakan Allah-lah yang telah memberinya anak. Kalaulah dia mengambilnya kembali, apa yang harus disedihkan?

Ada satu peristiwa berkaitan dengan Hz. Masih Mauud a.s. Beliau sangat mencintai Mia Mubarak Ahmad dan ketika beliau sakit keras, beliau sering sekali menjaganya. Atas hal ini terpikir oleh Hadhrat Khalifatul Masih Awwal r.a., bahwa kalaulah Mia Mubarak Ahmad wafat, maka Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tentu akan sedih. Pada saat terakhir Hadhrat Khalifatul Masih Awwal r.a. memeriksa denyut nadi Mian Mubarak, dan beliau mengatakan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., “Tolong ambilkan minyak kesturi,” karena denyut nadinya sudah berhenti. Beliau berpikir bahwa Hadhrat Masih Mauud a.s. akan sangat bersedih dengan wafatnya Mian Mubarak. Beliau r.a. berpikir bahwa sedemikian rupa akan bersedih, sehingga ketika berdiripun beliau a.s. akan terjatuh. Tapi ketika Hadhrat Masih Mauud a.s. mengetahui bahwa Mubarak Ahmad telah wafat, maka dengan sabar menulis surat kepada para sahabatnya bahwa Mubarak Ahmad sudah wafat. Tapi hendaknya tidak khawatir akan hal ini. Ini adalah salah satu kehendak Allah Taala dan kita harus bersabar dalam menghadapinya. Beliau pergi ke luar dengan tersenyum dan mulai berceramah bahwa ilham yang berkenaan dengan Mia Mubarak Ahmad sekarang sudah sempurna. Sebagaimana dalam sebuah syair tulisan belia a.s. yang berbunyi, “Yang memanggilnya adalah Dia yang Maha Indah (tampan). Kepada Dialah engkau sandarkan jiwa, wahai hati!”

Maksudnya adalah di dalam menghadapi ujian, kesedihan tidak menimbulkan rasa putus asa dalam diri, karena manusia menganggap bahwa, “Aku sedang mengorbankan sesuatu yang tidak berarti untuk sesuatu yang luhur.” Walaupun terkadang dalam azab yang berat perasaan menderita bisa hilang. Tapi ini terjadi disebabkan karena daya untuk merasakannya sudah hilang.

Suatu ketika Khalifatul Masih Awwal r.a. memperhatikan seorang wanita dan bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaan saudara kamu si anu itu?” Wanita menjawab sambil tersenyum bahwa dia sudah meninggal. Begitu juga ketika ditanyakan (kabar) satu-dua orang saudaranya yang lain, diapun menjawab dengan tersenyum bahwa mereka semua sudah meninggal. Dari segi makrifat wanita tersebut tidak mungkin melakukan hal itu. Tapi dalam dirinya ada penyakit yakni tidak tersisa lagi perasaan untuk merasakan kesedihan.
__________
(Tafsir Kabir Jilid 7 hal 596-597)
Mutarjim: Mln. Mahmud Ahmad Wardi Al-Garuty)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk komentar anda yang bertanggung jawab.

Related Post

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...