Senin, 01 Februari 2010

Uang Bunga dan Bencana

Mengamati kasus bailout bank century belakangan ini, mau tidak mau orang awam seperti saya pun jadi tertarik. 6,7 trilyun bukanlah jumlah sedikit. Entah berapa container jadinya bila jumlah sebesar itu dicairkan menjadi uang tunai. Membayangkannya saja rasanya sulit. Dan uang Negara sebesar itu dalam waktu sekejap raib tak tentu rimba begitu saja. Lembaga-lembaga kepercayaan Negara seperti BI, BPK, KPK, serta Polri, semuanya seperti bego tak tau apa-apa. Pejabat terkait malah saling tuding. Entah sampai kapan kasus ini akan dapat diselesaikan? Dan pertanyaan yang justru paling meresahkan adalah, sampai kapankan kasus-kasus seperti ini akan terus terulang??


Dewasa ini penggunaan system uang bunga dalam dunia perbankan adalah sangat umum di seluruh penjuru dunia. Bukan saja di Negara-negara sekuler non muslim, bahkan Negara-negara muslim maupun mayoritas muslim seperti Indonesia pun tidak terlepas dari system bunga uang ini. Ini sangat mengherankan, karena dalam kitab suci AlQuran jelas-jelas bahwa penggunaan riba itu adalah terlarang. Firman Allah swt. dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 276;


Artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak berdiri melainkan seperti berdiri orang yang syaitan merasuknya dengan penyakit gila. Hal demikian adalah karena mereka berkata, “Sesungguhnya jual-beli itu serupa riba,” padahal Allah swt. menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Maka siapa yang kepadanya telah sampai peringatan dari Tuhan-nya lalu berhenti dari pelanggaran itu, maka untuknyalah apa yang diterimanya di masa lalu; dan urusannya terserah kepada Allah swt.. Dan barangsiapa kembali lagi makan riba, maka mereka adalah penghuni Api, mereka akan tinggal lama di dalamnya.” (2 : 276)

Riba secara harfiah berarti suatu kelebihan atau imbuhan, menunjukkan tambahan yang melebihi dan di atas jumlah pokok (Lane). Riba meliputi renten atau bunga uang. Menurut hadist “tiap-tiap pinjaman yang diberikan guna menarik keuntungan”, termasuk batasan ini. Pengertian-tambahan (konotasi) kata riba tidak betul-betul sama dengan “bunga uang” seperti biasa dipahami oleh umum . Tetapi, karena tidak ada kata-kata yang lebih cocok, maka “bunga uang”dapat dipakai secara kasar sebagai kata padanannya. Pada hakikatnya setiap jumlah yang ditetapkan akan diterima atau dibayarkan lebih dari dan di atas apa yang dipinjamkan atau diterima sebagai pinjaman itu, ialah, “bunga uang.” Apakah berurusannya itu dengan perorangan atau dengan bank atau perkumpulan atau kantor pos atau organisasi lainnya. “Bunga uang” tak terbatas pada uang saja. “Bunga uang” meliputi tiap-tiap barang dagangan yang diberikan sebagai pinjaman dengan syarat bahwa benda itu akan dikembalikan dengan kelebihan yang telah disepakati.

Kata-kata “seperti orang gila” dalam ayat diatas berarti bahwa seperti halnya seorang orang gila tidak acuh akan akibat perbuatannya, demikian pula halnya lintah darat dengan tiada belas kasihannya tidak menghiraukan kemudaratan dalam akhlak dan ekonomi yang ditimpakan mereka atas perseorangan-perseorangan, masyarakat, dan malahan atas khalayak dunia pada umumnya. Riba menyebabkan pula semacam kegilaan dalam diri si lintah darat dalam artian bahwa seluruh kesibukannya dalam mencari untung menjadikan dia menjadi tidak peka terhadap segala maksud baik . Riba dilarang dalam Islam sebab membuka kesempatan menarik kekayaan kedalam satu lingkungan kecil dan karenanya membawa pengaruh buruk dalam pembagian kesejahteraan secara adil dan merata dalam masyarakat. Riba menambah kemalasan di kalangan orang-orang yang meminjamkan uang, dan membunuh dalam dirinya segala perangsang untuk menolong orang lain, serta menyumbat segala sumber tindakan kasih-sayang. Peminjam uang mengambil kesempatan dan mengeruk keuntungan dari keperluan dan kesusahan orang-orang lain. Masih merupakan manipestasi kegilaan akibat riba adalah bahwa orang yang membayar riba rasa kehormatannya menjadi rendah dan ia menjadi orang yang ceroboh serta tergesa-gesa, yang demikian itu mirip dengan ciri-ciri orang yang terkena penyakit kegilaan.

Sementara disatu pihak riba menyebabkan siapa yang meminjamkan memeras keperluan orang lain, di pihak lain riba menimbulkan pada si peminjam ada kecenderungan mengerjakan segala sesuatu dengan ceroboh dan mengambil hutang dengan tergesa-gesa tanpa memperhatikan kesanggupannya membayar kembali, dengan demikian mencederai akhlaknya sendiri dan akhlak pribadi yang meminjamkan. Riba menjuruskan pula kepada peperangan. Tiada peperangan yang berlarut-larut terjadi tanpa bantuan pinjaman yang bunganya membawa kepada keruntuhan ekonomi bagi pihak yang menang dan pihak yang kalah kedua-duanya. Sistem yang memudahkan mengambil pinjaman, membuka kemungkinan bagi pemerin tah-pemerintah meneruskan peperangan yang merusak itu, sebab mereka mendapatkan angin untuk berperang tanpa mengadakan pemungutan pajak dengan langsung. Islam melarang segala bentuk bunga uang. Di zaman modern ini perniagaan telah begitu terikat oleh dan tak terpisahkan dari rantai bunga uang, sehingga se olah-olah hampir tidak mungkin menghindarkannya sama sekali. Tetapi bila diadakan perubahan dalam sistem dan dalam lingkungan serta keadaan, maka perniagaan tanpa bunga uang dapat diselenggarakan seperti halnya pada hari-hari ketika Islam di masa keemasannya.

Kata-kata, “Sesungguhnya jual-beli itu serupa riba,” menunjukkan argument kesayangan para pendukung riba. Mereka mengatakan bahwa riba tidak lain merupakan salah satu bentuk perniagaan. Seperti halnya dalam perniagaan seseorang menginventasikan uang dengan harapan agar bertambah serta berlipatganda jumlahnya, demikian pula orang yang meminjamkan uang dengan riba. Namun pemikiran yang lebih mendalam akan menjadikan jelas bahwa terdapat dunia yang berbeda antara keduanya. Sementara riba mengandung segala macam keburukan seperti yang telah dijelaskan secara singkat diatas, perniagaan tidak.
Firman Allah:
 
  
 


“Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah swt. dan tinggalkanlah yang masih tersisa dari riba, jika kamu adalah orang-orang mukmin. Dan, jika kamu tidak berbuat demikian, maka waspadalah terhadap perang dari Allah swt. dan Rasul-Nya; dan jika kamu bertobat maka untuk kamu asal hartamu; dengan demikian kamu tidak akan menganiaya dan tidak pula kamu dianiaya. (2 : 279-280)”
Ayat diatas menerangkan bahwa penggunaan riba adalah serupa dengan berperang dengan Tuhan. Dapat disimpulkan dari sini bahwa siapapun diantara para muslim yang meminjamkan uang dengan riba, maka harus di boikot oleh seluruh komunitas. Sejarah memberikan kesaksian akan fakta bahwa sejumlah Negara Muslim yang meminjam ataupun memberi pinjaman dengan riba telah hancur.

Seringkali timbul keberatan bahwa tidak akan mungkin perniagaan bila tanpa bunga. Ini tidaklah benar. Tidak ada keterkaitan alami antara system riba dengan perniagaan. Hal tersebut secara tidak disadari telah dikaitkan satu sama lain, sebagaimana Negara-negara barat telah mendasari system perniagaan mereka dengan kredit. Jika tidak, perniagaan tidak akan pernah harus bergantung pada riba. Hanya beberapa ratus tahun yang lalu kaum muslim telah berperan dalam sebagian besar perniagaan dunia, dan tetap saja mereka melakukannya tanpa riba. Mereka biasa meminjam bahkan dari masyarakat yang lebih miskin dengan system pinjaman kerjasama (partnership loans), dan perniagaan yang mereka lakukan telah memberi kontribusi secara langsung pada kesejahteraan lapisan masyarakat tersebut.

Riba tidaklah demikian pentingnya dalam perniagaan, namun sebagaimana sekarang ini perniagaan telah berjalan atas dasar riba, seolah-olah ia tidak akan dapat bertahan tanpa riba itu. Tidak diragukan memang, bahwa untuk merubah system riba yang sudah berjalan ini pada awalnya pasti akan menyusahkan, namun demikian system perniagaan atas dasar riba ini adalah benar-benar dapat dihentikan.

Riba, pada kenyataannya, adalah lintah yang menghisap dengan cepat darah kemanusiaan, terutama masyarakat kalangan bawah dan menengah. Bahkan masyarakat kalangan atas pun tidak akan sepenuhnya selamat dari racunnya, namun mereka memperoleh kesenangan palsu dari itu seibarat seekor macan tutul yang memakan lidahnya sendiri dengan menggosokkannya pada batu keras, dengan bodohnya berpikir bahwa itu adalah darah dan daging binatang lain. Sayangnya semua yang berkeinginan untuk meninggalkannya terlalu lemah untuk bertahan menghadapi kekuatan system yang sedang berjalan ini.

Sistem kredit yang sedang berjalan di Negara-negara barat adalah menghancurkan kedamaian dunia dengan dua cara. Disatu sisi ia mengumpulkan kekayaan pada beberapa tangan, sisi lain, ia mempasilitasi perang. Tidak ada pemerintahan yang dapat membayangkan untuk masuk dalam suatu peperangan besar kecuali dia bersandar pada kemampuan untuk meningkatkan jumlah uang dengan jalan pinjaman yang berbunga. Perang yang panjang dan menghancurkan dapat mungkin terjadi hanya melalui lembaga riba. Jika pinjaman besar yang berbunga tidak tersedia, maka banyak Negara yang akan menolak untuk ikut serta dalam peperangan yang terlihat akan berkepanjangan; dan jikapun mereka ikut serta, mereka akan segera mundur daripadanya lama sebelum mereka dikalahkan, dengan kondisi kekayaan Negara yang kosong dan menghadapi rakyat yang memberontak protest atas kejahatan menyia-nyiakan manusia dan juga uang.

Namun system yang terlihat sebagai pinjaman memungkinkan sebuah pemerintah untuk melakukan peperangan membinasakan karena mereka mendapat kekuatan untuk berperang tanpa harus menjalankan system pajak langsung. Rakyat pada Negara-negara yang bertikai tidak akan langsung merasakan beban yang diletakkan di punggung mereka, namun setelah perang selesai punggung mereka menjadi dua kali lebih bungkuk akibat beratnya hutang Negara mereka yang mengejutkan dan generasi selanjutnya akan terus sibuk untuk mengurangi beban itu. Ambillah, sebagai contoh, kasus Perang Dunia terakhir. Jika pinjaman yang sangat besar tidak memungkinkan, hasil dari peperangan mungkin akan tetap sama, tapi kehancuran serta beban perhutangan dari berbagai Negara akan dapat dihindarkan. Bahkan, perang itu sendiri mungkin akan dapat dihindarkan; dan kalaupun tetap terjadi, Negara yang bertikai akan segera kelelahan, dalam jangka setahun saja tanda perdamaian akan terlihat, dan dunia akan mulai berderap maju ke arah kemajuan.
Selanjutnya berfirman:

 
 

Artinya: “Dan, jika orang yang berhutang itu dalam kesempitan, maka berilah dia tangguh sampai ia merasa lapang. Dan, jika kamu menyedekahkannya maka kamu akan lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (2:281)

Bila pada ayat sebelumya (2 : 279-280) memerintahkan untuk hanya mengambil jumlah aslinya [pinjaman] saja, maka ayat ini lebih jauh mendesak pemberi pinjaman (kreditor) untuk memberi kelonggaran waktu pada peminjam yang mengalami kesulitan hidup.
Pemberi pinjaman didesak agar bermurah hati dan dermawan kepada saudara mereka agar Tuhanpun bermurah hati kepadanya. Mereka harus ingat bahwa bila mereka telah memberikan pinjaman kepada saudara mereka, maka Tuhan pun telah meminjami mereka dengan menganugerahi mereka kemurahan serta karunia-Nya yang tidak terhingga; dan jika mereka mempunyai hak untuk mengambil bunga atas itu, maka Tuhan-pun berhak untuk member tuntutan berat kepadanya, tapi tidak dilakukan. Dan jika Tuhan tidak, maka apa yang seyogyanya dilakukan oleh manusia?
Firman-Nya:
 
 


Artinya: “Dan, takutlah kamu terhadap hari itu ketika kamu akan dikembalikan kepada Allah swt. [a] kemudian, setiap jiwa akan diganjar sepenuhnya untuk apa yang telah diusahakannya, dan mereka tidak akan dianiaya.”(2:282)

Ayat ini menyimpulkan pembahasan ayat-ayat sebelumnya dalam topik riba dengan memperingan orang-orang bahwa akan datang hari ketika mereka akan dibuat berdiri di hadapan Tuhan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan mereka. Mereka harus mengingat prinsip “Berlakulah sebagaimana engkau ingin diperlakukan.” Yang Mulia Rasulullah saw. pernah bersabda: “Tidak ada seorangpun yang dapat dikatakan mukmin, kecuali bila menyukai apa-apa untuk saudaranya seperti dia menyukai untuk dirinya sendiri” (Bukhari & Muslim).

Konklusi
Kita selalu bertanya-tanya apa salah kita hingga bangsa ini ditimpa bencana yang demikian bertubi-tubi. Berbagai jawaban dilontarkan berbagai tokoh cendekiawan dari berbagai kalangan, mulai tokoh politick, iptek, sosial hingga tokoh agama.
Sedemikian banyak jawaban yang ada tentu membuat beberapa orang merasa puas. Namun anda mungkin sama dengan saya, tidak puas dengan jawaban itu. Negara kita memang rentan dengan bencana karena secara geografis terletak di sabuk gunung api serta patahan lempeng bumi. Namun itu justru menimbulkan pertanyaan lanjutan yang sangat merisaukan. Mengapa sekarang ini sepertinya seperti semakin intens, kenapa dulu tidak?
Aah.. itu kan memang sudah saatnya. Rasanya jawaban itu terlalu mudah bagi kita sebagai manusia yang diberi kecerdasan. Kecerdasan manusia tidak terbatas hanya pada sisi materiil semata melainkan ada juga sisi spiritual.

Bagi yang tidak memiliki kecerdasan spiritual jawaban dangkal dan mudah seperti itu tentunya sudah mencukupi. Bahkan dalam berbagai aspek kehidupanpun biasanya mereka cenderung selalu bersikap ignorant (baca= masa bodoh). Buat apa pusing dengan hal-hal seperti itu, toh kita masih bisa hidup saja udah cukup.

Mari kita buka mata hati kita. Kita tentu tidak asing dengan bait lagu Ebiet G. Ade “Coba tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Banyak sekali semungkinan penyebab terjadinya segala bencana ini. Jika anda merasa tidak puas dengan jawaban biasa, coba layangkan pandangan anda pada sisi religious. Kerahkan potensi kecerdasan spiritual anda dan coba temukan jawaban yang dapat menentramkan disana. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di dunia ini tanpa izin Tuhan. Bahkan “rumput yang bergoyang”, maupun ranting yang patah tidaklah terjadi tanpa kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Jika memang demikian, apakah yang telah terjadi? Apakah Tuhan marah atau murka dengan kita? Hingga azab dan bencana yang ditimpakan sedemikian rupa.

Sesampainya disana, kita dapat lanjutkan dengan penelaahan lebih jauh mengenai apa saja kehendak Tuhan yang telah kita abaikan hingga Ia sedemikian marahnya? Untuk pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu susah mencari jawaban. Saya rasa saat inipun kita masing-masing dapat melihat sekitar kita dan menyebutkan dengan mudah semua pelanggaran manusia terhadap kehendak-Nya.

Salah satu yang paling parah mungkin seperti yang dibahas di atas adalah merebaknya uang bunga (riba) di seluruh dunia. Dan terutama di Indonesia ini. Selain itu sikap korup dan ketiadaan amanah dalam diri manusia pada umumnya, juga menjadi faktor yang sangat dominan dalam masyarakat kita. Kebejatan moral dan akhlak, merebaknya kejahatan dalam berbagai corak dan bentuk, serta kemaksiatan yang semakin merajalela juga dapat disebutkan pada urutan berikutnya.

Anda pernah mendengar kisah bangsa Madyan yang ditimpa bencana yang menghancurkan akibat melanggar perintah Tuhan untuk tidak berlaku curang dalam berdagang? Padahal Tuhan telah mengirim utusan untuk mengingatkan mereka. Atau kaum nabi Luth yang mengidap penyimpangan seksual. Menurut anda kejahatan apa yang ada pada kaum nabi-nabi terdahulu yang tidak ada pada masa sekarang ini??

Lalu apakah kita masih tetap bertanya mengapa bencana ini terus terjadi...??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk komentar anda yang bertanggung jawab.

Related Post

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...