TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah memang belum memberi keputusan untuk menanggapi desakan pembubaran aliran Ahmadiyah di Indonesia. Tapi, sikap pemerintah sudah jelas, sebuah kepercayaan tidak bisa dilarang. "Bagaimana pun, kita tidak boleh membekukan atau melarang kepercayaan orang," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto kepada Tempo, Minggu (6/3).
Sedangkan mengenai munculnya peraturan-peraturan daerah soal pelarangan aktivitas Ahmadiyah, menurut Djoko, aturan-aturan tersebut harus mengacu pada dua landasan, yakni, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan Pasal 29 serta Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri soal Ahmadiyah. "(Dua aturan) itu harus menjadi dasar peraturan daerah," ujarnya.
Pasal 28 UUD 1945 mengatur soal warga negara dan penduduk. Dalam pasal 28 E butir pertama dinyatakan, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali." Butir kedua menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya." Sedangkan mengenai munculnya peraturan-peraturan daerah soal pelarangan aktivitas Ahmadiyah, menurut Djoko, aturan-aturan tersebut harus mengacu pada dua landasan, yakni, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan Pasal 29 serta Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri soal Ahmadiyah. "(Dua aturan) itu harus menjadi dasar peraturan daerah," ujarnya.
Adapun pasal 29 mengatur soal agama yang berbunyi, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," (butir 2).
Karena itu, Djoko telah menginstruksikan Menteri Dalam Mendagri Gamawan Fauzi untuk mengevaluasi peraturan-peraturan daerah yang dinilai tak sesuai dengan dua landasan tersebut. Mendagri, kata Djoko, sudah tentu akan memperhatikan aturan-aturan di daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah. "Karena daerah tidak bisa bikin aturan sendiri tanpa memperhatikan acuan itu," kata dia.
Evaluasi terhadap peraturan daerah soal pelarangan Ahmadiyah akan dilakukan, sembari pemerintah membahas bagaimana mencari solusi tuntas tentang Ahmadiyah. "Kalau keluar dari dua acuan itu, (perda) tidak bisa diterapkan."
Namun di sisi lain, Djoko meminta media tak hanya mengutip soal pelarangan terhadap Ahmadiyah-nya saja. Sebab sejumlah aturan daerah juga mengatur soal pelarangan warga masyarakat untuk bertindak dengan melakukan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah. Menurut Djoko, silahkan saja jika ada pihak-pihak yang tidak senang dengan keberadaan Ahmadiyah. "Tetapi ketidaksenangan itu tidak boleh lantas digunakan untuk menghakimi orang lain, menganiaya orang lain, atau membunuh," ujarnya.
Djoko meyakini sebelum daerah mengeluarkan peraturan gubernur atau peraturan daerah, sudah melibatkan para stakeholder seperti tokoh agama, termasuk dari pihak Ahmadiyah sendiri. "Karena yang tahu eskalasi di daerah adalah daerah itu sendiri."
Sebelumnya, sejumlah kalangan juga tak setuju dengan aturan daerah yang melarang aktivitas Jamaah Ahmadiyah. Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Dewan Perwakilan Rakyat, Marwan Jafar, menyebut perda anti-Ahmadiyah itu sebagai intervensi terhadap kehidupan umat beragama, karena aturan itu memuat larangan aktivitas keagamaan. "Kepercayaan tak boleh dibunuh," katanya.
Persoalan Ahmadiyah, kata Marwan, seharusnya diselesaikan dengan dialog, yang melibatkan pemuka agama, organisasi keagamaan, dan pemerintah. Ia mendesak pemerintah segera mengevaluasi perda maupun surat keputusan gubernur anti-Ahmadiyah. Marwan khawatir beleid itu akan memantik konflik baru terhadap kelangsungan hidup penerus ajaran Ahmadiyah.
Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra juga menilai pelarangan terhadap aktivitas Ahmadiyah di daerah itu bertentangan dengan konstitusi. "Perda itu inkonstitusional karena tak sesuai dengan UUD 1945, yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta berserikat dan berkumpul," katanya.
Karena itu, Djoko telah menginstruksikan Menteri Dalam Mendagri Gamawan Fauzi untuk mengevaluasi peraturan-peraturan daerah yang dinilai tak sesuai dengan dua landasan tersebut. Mendagri, kata Djoko, sudah tentu akan memperhatikan aturan-aturan di daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah. "Karena daerah tidak bisa bikin aturan sendiri tanpa memperhatikan acuan itu," kata dia.
Evaluasi terhadap peraturan daerah soal pelarangan Ahmadiyah akan dilakukan, sembari pemerintah membahas bagaimana mencari solusi tuntas tentang Ahmadiyah. "Kalau keluar dari dua acuan itu, (perda) tidak bisa diterapkan."
Namun di sisi lain, Djoko meminta media tak hanya mengutip soal pelarangan terhadap Ahmadiyah-nya saja. Sebab sejumlah aturan daerah juga mengatur soal pelarangan warga masyarakat untuk bertindak dengan melakukan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah. Menurut Djoko, silahkan saja jika ada pihak-pihak yang tidak senang dengan keberadaan Ahmadiyah. "Tetapi ketidaksenangan itu tidak boleh lantas digunakan untuk menghakimi orang lain, menganiaya orang lain, atau membunuh," ujarnya.
Djoko meyakini sebelum daerah mengeluarkan peraturan gubernur atau peraturan daerah, sudah melibatkan para stakeholder seperti tokoh agama, termasuk dari pihak Ahmadiyah sendiri. "Karena yang tahu eskalasi di daerah adalah daerah itu sendiri."
Sebelumnya, sejumlah kalangan juga tak setuju dengan aturan daerah yang melarang aktivitas Jamaah Ahmadiyah. Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Dewan Perwakilan Rakyat, Marwan Jafar, menyebut perda anti-Ahmadiyah itu sebagai intervensi terhadap kehidupan umat beragama, karena aturan itu memuat larangan aktivitas keagamaan. "Kepercayaan tak boleh dibunuh," katanya.
Persoalan Ahmadiyah, kata Marwan, seharusnya diselesaikan dengan dialog, yang melibatkan pemuka agama, organisasi keagamaan, dan pemerintah. Ia mendesak pemerintah segera mengevaluasi perda maupun surat keputusan gubernur anti-Ahmadiyah. Marwan khawatir beleid itu akan memantik konflik baru terhadap kelangsungan hidup penerus ajaran Ahmadiyah.
Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra juga menilai pelarangan terhadap aktivitas Ahmadiyah di daerah itu bertentangan dengan konstitusi. "Perda itu inkonstitusional karena tak sesuai dengan UUD 1945, yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta berserikat dan berkumpul," katanya.
Dimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih untuk komentar anda yang bertanggung jawab.