Kamis, 31 Maret 2011

Kepada Saudaraku Yang di Tangannya Ada Kekuasaan

Oleh: M. Qasim Mathar

Saya mulai tulisan ini dengan harapan manusia bisa meresapkan ideal moral (ruh) yang terkandung di dalam ayat-ayat suci Alquran yang artinya sebagai berikut. "Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, wejangan yang baik, dan debatlah mereka dengan cara tercanggih. Sesungguhnya Tuhanmulah yang paling tahu siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk". "Dan Kami telah turunkan kepadamu Alkitab (Alquran) dengan kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan menjadi tolok ukur bagi kitab-kitab itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Bagi tiap umat di antara kalian, kami jadikan masing-masing jalan dan metode. Sekiranya Allah mau niscaya Dia jadikan kalian satu umat saja. Akan tetapi, Dia mau menguji kalian tentang pemberian-Nya kepada kalian.
Maka berpaculah berbuat kebaikan, kepada Allah tempat kembali kalian semua, lalu Dia memberitahu kalian perihal yang kalian perselisihkan." Janganlah sekali-kali kebencian kepada satu kaum mendorong kalian untuk tidak fair; fair-lah karena itulah (jalan) terdekat kepada ketakwaan."

Amat sering Nabi Muhammad mengimbau warga Madinah agar menyebarkan kedamaian ("afsy al-salam") dan mengingatkan bahwa orang muslim ialah yang mengayomi yang lain dari bahaya lidah dan tangannya.
Saudaraku, saya membaca dan sangat sering mendengar orang berkata bahwa konstitusi (UUD) negara kita menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sama dengan itu saya diajar sudah lama bahwa kebebasan memilih dan menganut agama dan keyakinan adalah hak asasi setiap orang (HAM). Pada sisi yang sejalan, Alquran juga mendidikku sudah lama bahwa tidak ada paksaan dalam agama.
Saudaraku, muslim Ahmadiyah adalah produk sejarah kaum muslimin seperti muslim Sunni dan Syiah, post-qur'anic, sesudah masa kenabian. Ahmadiyah, Sunni, Syiah bersama mazhab/sekte/pecahannya masing-masing adalah milik dan kekayaan kaum muslimin.

Pembubaran terhadap suatu organisasi yang berdasarkan keyakinan keagamaan, bukanlah solusi. Karena selain melanggar konstitusi, HAM, dan ideal moral atau ruh dari Alquran, keyakinan tersebut akan menjadi potensi laten di dalam negara, yang menunggu munculnya seorang penguasa yang mengangkatnya kembali menjadi legal. Orang Ahmadiyah adalah muslim, dengan beberapa perbedaan tafsir tentang Islam dengan yang lainnya. Perbedaan tafsir dan pemahaman dalam soal agama yang sama (Islam) tidak perlu menimbulkan reaksi yang berlebihan. Perbedaan tafsir dan pemahaman keagamaan akan menjadi positif dan produktif jika didekatkan dan dicairkan melalui dialog tanpa henti (sabar) dan pendidikan yang baik.
Pembubaran tidak akan memuaskan pihak yang menuntutnya, selama pihak yang menuntut menginginkan agar Islam yang berlaku di negeri ini sesuai dengan tafsir Islam yang dianutnya. Karena itu, akan tiba saatnya, pihak mana lagi berikutnya yang dituntut/didemo untuk dilarang dan dibubarkan.
Mari kita ingat ajaran Kongfutsu yang kini legal kembali setelah di"laten"kan dalam masa panjang dari sang penguasa. Ada baiknya juga kita belajar pada Pakistan yang mengusir Ahmadiyah dari tanah air mereka dan kini, negara Islam itu terganggu terus oleh kelompok muslim radikal yang menghendaki Islam di negara itu menurut tafsirnya sendiri.
Saudaraku yang di tangannya ada kekuasaan. Ingin saya sampaikan juga bahwa masalah Ahmadiyah adalah perkara beda tafsir yang melahirkan masalah teologis yang rumit, sehingga tidaklah bijak bila diatasi dengan pembubaran. Dari segi budaya lokal, memang ada budaya "sipakatau", "sipatengngareng", "sipakalebbi" di samping "sianre bale", "ejatompi nadoang". Terserah kita memilih sikap budaya yang mana. Karena yang positif dan negatif ada dalam tradisi kita. Bagi saya, saya akan memilih budaya yang disebut kearifan lokal, bukan yang berbau anarkis dan memendam rasa sakit. Jika demokrasi mau dipakai, saya memahami demokrasi adalah "bukan kekuasaan/dominasi mayoritas (yang banyak dan kuat) atas minoritas (yang sedikit dan lemah)." Tetapi demokrasi adalah "kekuasaan/dominasi yang mayoritas dengan mengayomi yang minoritas."
Saudaraku yang di tangannya ada kekuasaan. Kekuasaan yang ada di tanganku hanya mengklik tombol komputer, laptop, atau HP seperti saat ini. Atau, menggerakkan setangkai pena di atas kertas menjadi tulisan. Adapun akan dibaca atau didengar orang, itu kuasa penerbit dan media. Saudaraku, birokrasi, organisasi, dan kelompok, juga klaim sebagai mayoritas, membuat kekuasaan di tangan semakin kuat dan kita merasa semakin berkuasa. Semoga kekuasaan itu kita letakkan di atas meja konstitusi, HAM, dan ruh agama. Sekiranya Allah itu seorang presiden, gubernur, walikota/bupati, camat, atau ketua umum parpol/ormas, dan melihat mudarat dan munkarat yang dilakukan manusia, tentu Dia dengan kekuasaannya tak akan membubarkan siapa dan kelompok apapun. Namun yang Allah lakukan seperti yang sudah Dia lakukan sejak dulu sampai sekarang. Yaitu, mengirim nabi dan rasul serta pembaharu agama-Nya pada setiap kurun waktu sepanjang sejarah manusia guna mengingatkankan manusia pada rel fitrahnya.

Sumber : Fajar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk komentar anda yang bertanggung jawab.

Related Post

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...