Kamis, 24 Maret 2011

Pakistanisasi Indonesia

Oleh: Moh Yasir Alimi, Canberra | TheJakartaPost.com


Image dari okezone.com
Dekrit anti-Ahmadiyah di Jawa Barat dan di Jawa Timur telah memicu kekhawatiran di antara hati banyak orang bahwa negara ini menuju "Pakistanization".
Pakistan adalah "sebuah laboratorium penyalahgunaan atas nama agama" dan jalan Pakistan dalam kekerasan keagamaan yang intens dimulai dengan peraturan anti-Ahmadiyah.
Pada tahun 1984, Presiden Zia ul Haq mengadopsi Ordonansi XX untuk meng-kriminalisasi terhadap kegiatan pengikut Ahmadiyah. Pakistan senantiasa beralasan bahwa pelarangan Ahmadiyah atau menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Muslim akan menghapus kekerasan terhadap Ahmadiyah dan akan menstabilkan negara itu.
Bagaimanapun juga argumen yang kini biasa digunakan oleh kelompok Islam garis keras dan beberapa pejabat negara di Indonesia ini, adalah omong kosong.


Kenyataan yang terjadi di Pakistan menunjukkan ini. Sebuah negara yang dibangun di atas nilai-nilai egaliter, Pakistan sekarang menjadi tempat yang hancur oleh kelompok agama, tempat yang mencekik oleh bau anyir darah, tempat di mana Ahmadiyah, sekte Islam dan minoritas keagamaan dianiaya, tempat pemboman berlangsung setiap hari, mengakibatkan melemahnya kekuatan bangsa untuk membangun.
Dalam kondisinya saat ini, Pakistan adalah negara yang gagal. Human Rights Watch mencatat bahwa setelah Ordonansi XX yang mendeklarasikan pengikut Ahmadiyah sebagai non-Muslim pada tahun 1984, penganiayaan terhadap Ahmadiyah telah meningkat secara signifikan.
Seperti di Pakistan, dekrit di Jawa Barat dan Jawa Timur akan mengkriminalisasi kegiatan keagamaan Ahmadiyah dan akan menambah keberanian kelompok ekstremis keagamaan untuk lebih jauh lagi menganiaya pengikut Ahmadiyah. SK tersebut terlihat seperti lisensi untuk membunuh. Dan karena keyakinan tidak akan pernah mati, maka kekerasan pun akan terus berlanjut.
Pengalaman di Pakistan menunjukkan bahwa peraturan kejam semacam itu mendukung aksi main hakim sendiri kelompok agama dan melemahkan komitmen negara atas konstitusi, suatu nilai-nilai fundamental yang di atasnya bangsa dibangun.
Hasilnya adalah menakutkan. Sebuah negara yang dibangun di atas nilai-nilai egaliter, seperti Pakistan, dapat beralih menjadi tempat kekerasan agama. Ali Jinnah, bapak pendiri, adalah seorang demokrat yang sangat bersemangat, dan ia mendirikan Pakistan atas dasar konsensus dan pluralistik dan keyakinan bahwa supremasi umum akan menang dan bukan hanya Islam di dalamnya. Apa yang tersisa dari cita-cita itu?
Pengalaman Pakistan menunjukkan bahwa setelah penerbitan regulasi, kekerasan terhadap Ahmadiyah akan timbul dalam berbagai bentuk: pembunuhan di depan polisi, serangan tehadap masjid, pengusiran Ahmadiyah dari banyak perguruan tinggi negeri, lebih banyak kekerasan secara luas, pengecualian Ahmadiyah dari pemungutan suara, perusakkan dan pembakaran terhadap mereka rumah, tempat usaha dan masjid, penodaan dari kuburan mereka dan banyak lagi.
Ordonansi XX sebenarnya tidak hanya mengkriminalisasi "kegiatan keagamaan" dari Ahmadiyah, tapi juga "kehidupan sehari-hari" dari pengikut Ahmadiyah.
Kemudian, efeknya akan keluar dari sekedar pengikut Ahmadiyah; kelompok radikal akan menjangkau kelompok-kelompok Islam yang lain dan pejabat pemerintah yang menurut mereka berbeda atau tidak sejalan dengan agenda mereka.
Misalnya, seorang gubernur dengan suara moderat, Salman Taseer, dibunuh awal tahun ini karena ia mengkritik hukum penghujatan yang dianggap sebagai "aturan hitam" tidak konsisten dengan konstitusi nasional Pakistan.
Kami khawatir bahwa Indonesia dapat jatuh dalam situasi yang sama. Indonesia adalah negara dengan keberagaman, yang juga tercermin dalam keragaman praktek Islam yang religius.
Ada banyak praktik keagamaan yang dianggap sebagai bid'ah, banyak dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Setelah Ahmadiyah, hanya masalah waktu sebelum para pelaku praktik keagamaan seperti itu di tanah air ini akan dianiaya.
Apakah konsekuensi lainnya yang mungkin terjadi? Ketika negara gagal melindungi warga negaranya, banyak kelompok dalam masyarakat akan membuat tentara paramiliter sendiri untuk melindungi diri. Kita bisa memprediksi konsekuensi dari situasi seperti itu.
Oleh karena itu, bukan saja Surat Keputusan di Jawa Barat dan Jawa Timur itu terang-terangan melanggar hukum hak asasi manusia internasional, Konstitusi serta mimpi para pendiri negara kita, tetapi mereka juga akan mengancam keamanan nasional kita dan eksistensi bangsa.
Dalam jangka panjang, keputusan tersebut pasti akan memperkuat ormas-ormas agama dan melemahkan kekuasaan negara. Akan terjadi ketidakamanan agama dan politik yang lebih parah.
Keputusan ini juga bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental Islam (Adz dhoruriyyatul khomsah): hifdhu ad-din (melindungi kebebasan beragama/berkeyakinan), hifd an-nafs (melindungi jiwa), nasl al-aql (melindungi kebebasan ekspresi), hifd an-nasb (melindungi keberlanjutan manusia) dan hifd al-mal (melindungi hak-hak properti).
Untuk alasan agama dan keamanan, pemerintah pusat, khususnya Menteri Dalam Negeri, harus mengevaluasi peraturan-peraturan daerah untuk menghentikan laju dari "Pakistanisasi".
Keanekaragaman tetap yang paling berharga milik para pemimpin negara di tingkat manapun juga. Pemerintah pusat harus menjamin bahwa semua aparat negara di berbagai tingkatan tidak melanggar Konstitusi Nasional, dan harus mewujudkan kesadaran keanekaragaman. Ini adalah urat nadi Indonesia modern dan alasan keberadaan kita.
Indonesia memiliki karakteristik budaya sendiri dan tidak boleh mengikuti jalan yang berbahaya seperti Pakistan. Sejarah mengatakan bahwa negara yang dibangun di atas visi egaliter dapat menjadi sarang kekerasan agama ketika kesadaran keragaman tidak dipupuk, dan ketika para pejabat kehilangan cita-cita para pendiri bangsa.
Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas PBB telah meminta Komisi Hak Asasi Manusia untuk menekan Pemerintah Pakistan agar mencabut Ordonansi XX. Sungguh ironis bahwa Indonesia malah mengadopsi peraturan tersebut.
Seperti kasus di Pakistan, ulama juga terlibat dalam mobilisasi peraturan anti-Ahmadiyah. Kepada para ulama tersebut, saya mengundang mereka untuk menyegarkan keimanan kita pada Tuhan, Yang Maha Pengasih (rahman) dan Penyayang (rahim). Para ulama perlu mewujudkan dua sifat Allah ini,jika tidak mereka akan miskin rohani.
Krisis moral terdalam terjadi ketika para pemimpin agama tidak mewujudkan rahman rahim dalam diri mereka atau ketika mereka mulai melihat orang lain hanya dari pakaian luar mereka, bukan dari dalam batin kemanusiaan mereka. Ketika kedua karakteristik ini tidak hadir, berkat-berkat Tuhan akan meninggalkan kita.

Penulis adalah dosen di Universitas Negeri Semarang (UNNES), mantan koordinator Majelis Kataman Quran Canberra Australia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk komentar anda yang bertanggung jawab.

Related Post

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...