==========================================
Selaku kiai dan tokoh agama, Gus Dur juga meneladani sikap Rasulullah yang tidak memerangi kemunculan nabi-nabi palsu pada masa itu, kecuali Musailamah yang diperangi pada masa Khalifah Abu Bakar karena akan memberontak. Teladan dalam bermasyarakat dan bernegara itulah yang dijadikan pedoman untuk meneladani Rasulullah.==========================================
PADA tahun ke-10 Hijriyah, Musailamah Alkazddzab mendeklarasikan dirinya sebagai nabi. Dalam referensi buku kontemporer, Sirah Nabawiyah dan Tarikh Khulafaur-Rasyidin, dikisahkan dia tidak sungkan-sungkan mengirim surat kepada Rasulullah SAW.
Isi surat tersebut: ”Dari Musailamah Rasullullah untuk Muhammad Rasulullah. Salam sejahtera. Sesungguhnya saya disekutukan dalam kamu. Kami memiliki sebagian tanah, dan orang Quraisy sebagian tanah lainnya, tetapi Quraisy adalah kaum yang melewati batas”.
Nabi Muhammad membalas, yang artinya: ”Dengan nama Allah yang Maha Rahman dan Rahim, dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah al-Khazdzdab (pembohong). Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk Allah. Bahwa kami ini adalah milik Allah, diwariskan siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya yang bertakwa”.
Masih dari Sirah Nabawiyah, ternyata Muasailamah yang mengaku nabi adalah Tulaikhah bin Khuwailid. Bahkan dia membuat tandingan ayat Alquran dengan menulis Surat Gajah (al-Fil) untuk menyaingi surat yang sama dalam Alquran. Kalimat itu artinya: ”Gajah, apakah gajah itu, hewan yang belalainya panjang”.
Kemudian ada al-Aswad al-Ansi, yang juga mengaku nabi, dengan gelar ”orang yang berkerudung (Zul Khimr) dari Yaman”. Ia ditumpas oleh Qaisy bin Maksyuh Al-Muryadi, sehari sebelum Nabi Muhammad wafat. Upaya menumpas orang yang mengaku nabi baru dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, dan peperangan tak terelakkan karena pasukan Musailamah kuat. Pasukan yang dikirim sahabat Nabi itu nyaris kalah, sebelum komando perang diambilalih Khalid bin Walid.
Menurut pakar perbandingan agama UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, Prof Dr Kautsar Azhari, penumpasan Musailamah oleh Abu Bakar sebenarnya bukan bermotif mengaku nabi, melainkan karena dia akan melakukan pemberontakan. Sebab sebelum mendeklarasikan menjadi nabi, dia sudah menyiapkan 40 ribu pasukan untuk memberontak.
Di era modern, di India, tepatnya Qodyan muncul nabi palsu. Pada 1880-an, Ali Murthadho yang didukung Inggris mengaku dirinya sebagai nabi dan telah menerima wahyu yang diberi nama at-Tadzkirah. Dari situlah muncul aliran Ahmadiyah, yang akhir-akhir ini menjadi sorotan.
Pakem
Pemerintah, dalam hal ini Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri akan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang larangan Ahmadiyah sesuai dengan hasil rekomendasi Badan Kordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) mengenai ajaran Ahmadiyah. SKB ini bermuara pada dua hal: dilarang atau tidak dilarang!
Pertanyaan tiba-tiba muncul ketika terjadi tarik-ulur SKB antara perlu atau tidak. Bakor Pakem memberi rekomendasi setelah keluar fatwa Majelis Ulama Indonesiaa (MUI) Pusat, yang sejak awal diperdebatkan sejumlah kalangan.
Mantan ketua umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan lantang menentang rencana keluarnya SKB soal pelarangan Ahmadiyah. Bahkan presiden keempat RI itu akan mendukung siapapun yang menggugat pemerintah karena dinilai sudah mengintervensi soal kepercayaan yang dijamin konstitusi.
Ketua Umum Dewan Syuro PKB itu juga menyatakan siap menjadi saksi ahli jika diminta pengadilan untuk menolak SKB tiga menteri itu. Sebagai tokoh yang sering menyuarakan kebebasan dan hak asasi manusia dan dikenal melindungi kelompok minoritas, pendapatnya sama dengan kelompok-kelompok yang memperjuangkan kebebasan.
Selaku kiai dan tokoh agama, Gus Dur juga meneladani sikap Rasulullah yang tidak memerangi kemunculan nabi-nabi palsu pada masa itu, kecuali Musailamah yang diperangi pada masa Khalifah Abu Bakar karena akan memberontak. Teladan dalam bermasyarakat dan bernegara itulah yang dijadikan pedoman untuk meneladani Rasulullah.
Fatwa MUI
MUI mempunyai hak untuk berfatwa. Dalam negara demokrasi, tidak ada orang atau kelompok orang yang bisa melarang orang maupun kelompok lain untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat. Konstitusi secara tegas memberi jaminan.
Oleh karena itu, hal yang mengkhawatirkan bukanlah terletak pada fatwa MUI itu sendiri, tapi efek yang mungkin ditimbulkan. Meski mayoritas masyarakat sering mengabaikan fatwa-fatwa tersebut, namun juga tidak bisa menutup mata bahwa ada sekelompok yang terkadang membenarkan tindakan anarkis dan kekerasan berdasarkan fatwa MUI.
Kasus penyerangan, pembubaran, dan pembakaran masjid Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) beberapa waktu lalu merupakan bukti kasat mata mengenai hal ini. Kelompok yang melakukan kekerasan terhadap JAI menjadikan fatwa MUI tahun 1980 yang menyebutkan Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Fatwa ini seperti bensin yang disiramkan ke api. Ia menjadi energi tambahan bagi sekelompok orang yang ingin menggusur Ahmadiyah dari bumi Indonesia. Sehingga belakangan ini markas Ahmadiyah di berbagai wilayah diserbu massa, masjidnya dirusak, pengikutnya diusir, dan seterusnya.
Kita tidak bisa membayangkan, jika ada orang yang mengikuti fatwa MUI yang menganggap satu kelompok sesat, dan orang-orang yang sesat boleh disatroni. Kemudian anggotanya disatroni juga dengan dalih melaksanakan perintah agama atas dasar fatwa MUI.
Jika hal ini terjadi, secara pelan-pelan Indonesia akan menjadi negara teokrasi, karena kebijakannya tidak didasarkan pada konstitusi, tapi lebih kepada fatwa!
Terlepas dari itu semua, masyarakat mestinya makin kritis dengan fatwa-fatwa keagamaan seperti ini. Fatwa keagamaan bukanlah agama itu sendiri, meskipun dia dibangun atas nama agama. Konstitusi negara menjamin seluruh warganya untuk memeluk keyakinan dan beribadah menurut keyakinannya itu.
Oleh karena itu, semua warga negara termasuk MUI tunduk pada konstitusi itu. Sementara pemerintah harus menjalankan negara ini berdasar konstitusi, bukan berdasar fatwa MUI.
Fatwa MUI bahwa Ahmadiyah sesat bisa saja diterima sebagai fatwa, tapi harus dengan menjauhkan prasangka buruk tentang ada atau tidak unsur subjektifitas dalam mengeluarkan fatwa tersebut. Namun bukan berarti penganutnya tak bisa berdampingan dalam bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada kekerasan, bakar-membakar, dan tetap berpegang pada prinsip ”bagiku amal perbuatanku, dan bagimu amal perbiuatanmu”.
Fatwa MUI bisa menenteramkan, karena itulah cara terbaik untuk melindungi kemurnian Islam. Tetapi tidak perlu dianggap membahayakan, sehingga harus mengeluarkan seluruh energi untuk melawan, sehingga banyak kalangan begitu bernafsu mendesak untuk mencabut fatwa dan mendelegitimasi lembaga kumpulan ulama itu. (32)
*A Adib, wartawan Suara Merdeka di Biro Jakarta
(Suara Merdeka, Jum’at 09 Mei 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih untuk komentar anda yang bertanggung jawab.