Rabu, 31 Maret 2010

SEBUAH WAWANCARA

SEBUAH WAWANCARA DENGAN REKTOR UNIVERSITAS AL-AZHAR TENTANG ITIKAD AHMADIYAH

Oleh: Abdus salam Madsen

Denmark


==========
Tentang Syeh Mahmud Syaltut seluruh dunia islam pada umumnya mengenal namanya, bahkan juga bangsa Indonesia, yang telah mendapat kehormata dengan kunjungan beliau ke negeri ini beberapa waktu silam.
Di bawah ini termasuk tulisan Tuan Abdus Salam Madsen dari Denmark, nukilan dari majalah “Review of Religion” bulan Oktober 1962, yang merupakan wawancara antara si penulis dengan Syeh besar tersebut. Wawancara itu direproduksi ke dalam tulisan atas dasar catatan si penulis yang dibuatnya hari itu juga secermat-cematnya, demikian catatan A.S. Madsen. Penulis adalah seorang bangsa Denmark yang juga baru masuk islam dengan perantaraan Ahmadiyah yang bertugas di negeri tersebut.

Penterjemah: R. Ahmad Anwar

==========


Pada tanggal 24 Juli 1962 jam 11 pagi saya diterima oleh Rektor Dr. Mahmud Syaltut, yang masyhur dengan fatwanya tentang wafatnya Yesus (Isa ibnu Maryam), di ruang depan kantornya. Saya ditemani oleh Wakil kepala Jawatan Hubungan-hubungan kebudayaan dengan luar negeri dari departemen perguruan Tinggi RPA, Tuan Muhammad Bayoumi Ibrahim. Akan tetapi beliau ini tidak dapat menemani saya sampai ke hadapan Syeh tersebut, oleh sebab itu seorang anggota dari fakultas itu, yang dapat berbicara Inggris, mungkin bernama Dr. Beha’i menyertai saya dan bertindak sebagai jurubahasa. Syeh tersebut mengetahui bahasa Inggris hanya sedikit.
Mula-mula Dr. Beha’i bertanya waktu di ruang muka kantor, bahwa apa yang menjadi pokok untuk didiskusikan dengan yang mulia itu. Saya belum lagi memikirkan tentang pokok pembicaraan tertentu, tetapi atas permintaannya saya menulis di atas secarik kertas: Rafa’ Isa as.
Kemudian kami pergi ke suatu ruang yang besar, di mana Syeh tersebut duduk di atas kursi besar, dikelilingi oleh lima atau enam Syeh yang lain. Dr Mahmud Syaltut datang ke Universitas hanya dua kali dalam seminggu semenjak beliau sakit payah kira-kira setahun yang lalu.


Syeh al-Azhar (setelah membaca tulisan):
“Kami mempunyai kepercayaan mengenai Isa sama dengan kepercayaan Ahmadiyah. Beliau tidak naik ke langit dengan tubuh kasarnya. Rafa’ (kenaikan)-nya adalah hanya secara ruhani. Lebih jauh lagi perkataan Tawaffi berarti mengambil nyawa seseorang sesudah mati. Perkataan ini diperkuat oleh ucapan bahasa Arab sehari-hari. Maka tidak ada hal yang istimewa kedapatan di sini dalam peristiwa Isa itu. Arwah beliau berada di langit seperti halnya arwah-arwah para anbiya lainnya dan arwah-arwah para salihin.
Sampai di sini beberapa Syeh yang berada di sekelilingnya mendesak kepada Syeh tersebut untuk mengajukan beberapa pertanyaan, selama berlangsungnya percakapan mana saja mendengar beberapa kali nama Mirza Ghulam Ahmad disebut.
Syeh al-Azhar : “Apakah Tuan percaya bahwa Muhammad saw itu khataman nabiyyin?”
Abdus Salam : “Kami orang-orang Ahmadi tentu saja percaya kepada hal itu. Kepercayaan itu merupakan ajaran yang lumrah dari Al-Qur’an”.
Syeh al-Azhar : “Apakah Tuan percaya pada hadits La nabiyya ba’di yani tidak ada nabi sesudahku?”
Abdus Salam : “Itu tergantung kepada definisi tentang Nabi. Jika Nabi dikatakan Sahibul kitab, yakni seorang nabi yang merupakan pembawa hukum atau syariat, maka tidak akan bisa ada nabi sesudah Nabi Muhammad saw, sebab syariat itu telah disempurnakan dan merupaan ahir mutlak di dalam wujud al-Qur’an, menurut ayat ini:
“Alyauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum ni’mati wa radhitu lakum Islama dina”.
“Hari ini Aku telah menyempurnakan agamamu untukmu dan telah melengapkan nikmatku atasmu dan memilih untukmu islam sebagai agama”. (5: 4).
Dengan demikian tak ada satu ayatpun dapat diubah, dihapus atau ditambah sampai hari kiamat. Akan tetapi seorang nabi, menurut logatnya dapatlah diartikan seorang yang menerima ilham dari Tuhan dan atas landasan ini ia menyatakan kabar-kabar gaib (nubuwatan-nubuwatan) berenaan dengan masa yang akan datang. Di dalam mana yang terakhir disebut itu bisa ada nabi sesudah Rasulullah”.
Syeh al-Azhar : “Apakah ilham dari orang yang demikian itu sama macamnya dengan ilham dari nabi Muhammad saw?”
Abdus Salam : “Sekalian ilham berpangkal kepada sumber yang sama. Setiap ilham datang dari Allah. Tetapi ilham dari seorang pengikut ummati adalah tidak sama dengan ilham dari Muhammad saw, sebab ia bukanlah tasri’i (ilham yang mengandung syariat) sebagaimana telah saya sebutkan”.
Syeh al-Azhar : “Ya, saya mengakui, bahwa bisa ada ilham sesudah Muhammad saw”.

Tidaklah jelas apakah Syeh tersebut memaksudkan ilham itu dari sesuatu macam atau dari semacam yang khusus, tetapi oleh karena jawaban itu diberikannya dengan secara mengiyakan, nampak-nampaknya yang dimaksudnya ialah hanya suatu ilham dari bentuk yang rendah; tetapi justru ilham semacam itu, bukan yang mengandung Syariat, yang kita masudkan.

Abdus Salam : “Yang Mulia, bolehkah saya mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah orang-orang Ahmadi menurut pandangan yang mulia orang-orang muslim?”
Syeh al-Azhar : “Jika mereka percaya pada khataman nabyyiin seperti tuan telah terangkan, mereka adalah orang-orang muslim yang sempurna. Tetapi apa yang Tuan mengerti tentang syariat Muhammad yang kerap kali tuan sebut?”
Abdus Salam : “Tentang ini sukar sekali untuk diterangkan dengan beberapa kalimat saja dalam waktu yang singkat. Tetapi kaum Muslimin Denmark menunaikan kewajiban agamanya menurut pola yang masyhur: pernyataan syahadat, sembahyang lima waktu sehari, berpuasa di dalam bulan Ramadhan dll.”
Syeh al-Azhar : “Dan naik haji?”
Abdus Salam : “Ya, saya berhasrat untuk segera menunaikan haji ke Mekah, insya Allah”.
Syeh al-Azhar : “Apa pendapat Tuan berkenaan dengan jihad?”
Abdus Salam : “Kami sependapat tentang masalah ini dengan al-Qur’an suci. Surat Haj mengatakan, bahwa jihad adalah untuk menghadang agresi yang bermaksud hendak membinasakan kemerdekaan beragama. Jihad itu dapat bermacam-macam coraknya: bissaif dan bi-Qur’an (dengan pedang dan dengan al-Qur’an). Tetapi dengan pedang itu hanya untuk membela kemerdekaan agama”.
Syeh al-Azhar : “Dan untuk menghadang agresi. Apakah Tuan tidak menganggap perlawanan kami terhadap agresi tiga sekawan (Inggris, Perancis dan Israel dalam peristiwa Suez-pen.) sebagai jihad?”
Abdus Salam : “Suatu syarat untuk berjihad terang sudah terjadi dengan adanya suatu penyerangan. Jika sekiranya Inggris dan Perancis telah menyerang dengan niatan untuk menghapuskan Islam, untuk memajukan agama Kristen, dan untuk menghalang-halangi Islam secara teoritis dan praktis, maka dalam hal itu berupa jihadlah melawan mereka dan bangsa Israel. Apa yang telah terjadi bukanlah jihad, melainkan suatu perang pembelaan yang pada tempatnya”.

Syeh tersebut tersenyum dan membenarkan pendapat saya. Setelah saya membaca beberapa bagian dari kitab suci al-Qur’an atas keinginan Syeh, kami berpisah sedangkan beliau menjanjikan kepada kami untuk sedapat mungkin mendukung (kepada perjuangan Ahmadiyah yang telah saya sebutkan), dan beliau memberikan restunya; “Selamat, selamat!”

Syeh al-Azhar : “Lanjutanlah terus membaca a-Qur’an tiap-tiap hari selama hayat dikandung badan, dan tuan akan mendapat berkat”.



---o---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk komentar anda yang bertanggung jawab.

Related Post

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...