MUI Tolak Dialog
Kiai NU Ragukan Fatwa MUI soal Ahmadiyah
8 Mei 2008 - 17:41 WIB
Kurniawan Tri Yunanto
VHRmedia.com, Jakarta - Perwakilan kiai Nahdlatul Ulama se-Jawa ditolak bertemu pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Kamis (8/5). Sejumlah kiai itu datang untuk meminta agar MUI meninjau ulang fatwa sesat terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia.
Kiai Imam Ghazali, juru bicara perwakilan kiai se-Jawa, mengatakan para ulama datang untuk mengingatkan MUI soal pentingnya menjaga pluralisme di Indonesia. Mereka meminta MUI meninjau ulang fatwa sesat terhadap Ahmadiyah yang dikeluarkan tahun 1980.
"Fatwa tersebut sudah menganggap Ahmadiyah keluar dari Islam. Orang mengislamkan itu sulit, sekarang yang ada kok justru dimurtadkan," kata Kiai Imam Ghazali di kantor MUI, Jakarta, Kamis (8/5).
Menurut Kiai Imam Ghazali, dengan mengucapkan dua kalimat syahadat seseorang sudah dapat dinyatakan masuk Islam dan tidak dapat dengan mudah dianggap kafir. Dia menjelaskan, implementasi ibadah tiap-tiap orang atau golongan tergantung kualitas ibadah, dan tidak ada satu pun yang sempurna.
Ulama seharusnya menyempurnakan ibadah umat dan menyatukan setiap perbedaan. "Tugas kita (ulama) berdakwah, bukan mengeluarkan fatwa untuk keluar dari Islam. Selama ini Ahmadiyah tidak pernah mengganggu kelompok lain. Apalagi tahun 1953 negara sudah memberikan mereka (Ahmadiyah) badan hukum, sepatutnya dilindungi," ujarnya.
Perwakilan kiai tidak akan mempermasalahkan pengesahan surat ketetapan bersama 3 menteri selama tidak berisi pembubaran Ahmadiyah. Menurut mereka, SKB itu harus berisi aturan perlindungan bagi pengikut Ahmadiyah. "Bagaimana mungkin keyakinan dibubarkan?" kata Kiai Imam Ghazali.
Kiai Maman Imanulhaq, perwakilan dari Jawa Barat, mengatakan, Indonesia mempunyai falsafah dasar Pancasila. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengukuhkan sifat tauhid. "Maka kita wajib bersatu. Hanya Tuhan yang tunggal dan kita wajib manunggal. Nilai kebinekaan dalam pluralisme ini harus menjadi dasar tauhid bagi siapa pun," ujarnya.
Kiai Maman mempertanyakan sikap kelompok Islam yang tidak menghargai perbedaan. Padahal semua agama mengajarkan perbedaan, namun tetap menjaga keharmonisan. "Agama macam apa yang dipakai untuk membakar masjid? Agama macam apa yang digunakan untuk mengenyahkan orang dari bumi yang plural ini?" ujarnya.
Perwakilan ulama se-Jawa merekomendasikan agar fungsi MUI dikembalikan menjadi lembaga komunikasi antarulama. Sebab, dalam menyikapi perbedaan, MUI selalu memutuskannya melalui fatwa yang cenderung tidak menunjukkan nilai-nilai Islam. "Saya pikir MUI harus ditinjau ulang. Jangan sedikit-sedikit langsung mengeluarkan fatwa yang menyesatkan umat," kata Kiai Abdul Tawwab, pemimpin pesantren di Surabaya.
Sekretaris Komisi Pengkajian MUI Amirsyah Tambunan menuduh kedatangan perwakilan kiai se-Jawa itu tidak mewakili kepentingan umat Islam. Dia meminta semua pihak menunggu keputusan pemerintah soal status Ahmadiyah. "Mereka (perwakilan kiai) datang tidak jelas mewakili siapa. Karena tidak sesuai prosedur, makanya tidak diterima oleh pimpinan MUI," katanya. (E1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih untuk komentar anda yang bertanggung jawab.